Rabu, 23 Mei 2012
i slank u menyatukan slanker
Menggelar pertunjukan musik di hotel bintang lima dengan harga tiket yang terbilang mahal memang sangat jarang dilakukan oleh Slank. Meski banyak yang menyebut konser Slank kali ini diperuntukkan bagi para Slankers premium, tapi menurut gitaris Slank Abdee, grup ini tidak pernah membeda-bedakan antara Slankers bendera dengan Slankers-slankers lainnya.
“Bagi kami Slankers itu satu. Alasan digelarnya konser ini di hotel bintang lima adalah demi menunjang konsep acara yang sengaja dibuat dengan paduan suara, akustik, dan okestra,” tegas Abdee dalam obrolannya bersama Republika, selepas konser I Slank You, di Jakarta.
Menurutnya, mempertemukan Slankers dalam kesempatan yang lebih massal tapi dengan konsep yang matang dan tidak asal-asalan, menjadi keinginan besar bagi para personel Slank saat ini.
Slank, kata Abdee, sangat ingin kembali menggelar konser dengan konsep sama seperti I Slank You tapi dengan massa yang lebih banyak. Bukan hanya untuk menyatukan seluruh penggenarnya tapi juga demi menekan harga pertunjukkan agar tiket juga dapat dijual dengan harga yang lebih terjangkau.
“Kalau kita tampil di Gelora Bung Karno misalnya, dengan konsep yang mahal tapi karena kapasitas penonton besar mudah-mudahan imbasnya bagus bagi harga tiket juga,
Meski berjalan lancar, Abdde mengaku, dirinya masih belum terlalu puas dengan performa yang diberikan Slank pada malam konser I Slank You yang berjalan sekitar tiga setengah jam. Majunya jadwal konser dan kurangnya persiapan karena ketergesaan waktu, membuat beberapa gladi resik yang biasanya menjadi agenda wajib Slank sebelum tampil terpaksa ditiadakan.
Beruntung, ia melanjutkan, respon yang diterima dari para penonton semuanya positif dan menyampaikan rasa puas atas penampilan Slank dan para bintang tamunya di atas panggung. Adanya kesempatan bagi para bintang tamu untuk mengaransemen ulang beberapa lagu Slank, juga disebut Abdee, memberikan kebahagiaan tersendiri bagi para personel malam itu.
“Saya paling surprise mendengar bagaimana Naif mengarasemen I Miss You But I Hate You. Tapi, semua yang tampil membantu kemarin juga sangat istimewa.
Selasa, 22 Mei 2012
Senin, 21 Mei 2012
ska Phobia TipE-x
Tipe X terdiri dari Tresno (vokal), Micky (bass), Yoss (gitar), Aditya (drum), Billy (gitar), Anto (trombone), dan Andi (saksofon). Bisa dibilang Tipe X adalah pelopor musik ska di Indonesia. A Journey adalah album kumpulan hits Tipe X sepanjang perjalanan karir musiknya. Sebelumnya Tipe X merilis total empat album rekaman, album pertama Ska Phobia (1999), Mereka Tak Pernah Mengerti (2001), Super Surprise (2003) dan Discography Hitam Putih (2005). Album A Journey ini memuat lagu lagu terbaik Tipe X dari empat album tersebut seperti Genit, Kamu Ngga’ Sendirian, Mawar Hitam, Selamat Jalan, Angan dan beberapa lagu lainnya.
SKA Purpose Indonesia
Purpose berdiri tahun 1997 di Bandung Jawa Barat. Awalnya mereka sering berkumpul di studio musik di kawasan Titiran Bandung, sempat melanglang ke berbagai pub seperti Ohara, menjadi home band Ubud Cafe selama setahun lalu pernah juga main di Fame Station. Purpose terdiri dari Didin (bass), Willy (gitar), Romy (gitar), Andy dan Lutfi (vokal), AryaWiwit (keyboard), Zen (saksofon) dan Iman (terompet). Tahun 1999 Purpose merilis album perdana Tiger Clan dibawah bendera BMG Music Indonesia. Lagu yang sempat jadi hit adalah Scooby Doo dan Tiger Clan
Minggu, 20 Mei 2012
KOROPTOR (MAFIA PERADILAN)
Coba bayangkan. Kalau anggota DPR kita yang korup, kemudian dihukum mati. Apalagi kalau dia bukan hanya anggota biasa, tetapi salah satu dari pemimpinnya! Apakah berakibat lembaga perwakilan itu akan lebih bersih KKN dan mampu menjalankan fungsi utamanya? No! A Big No!
Ilustrasi di atas cuma impian di negeri ini. Sebab untuk memeriksa, mengadili, apalagi menjatuhkan hukuman mati bagi anggota DPR tidak semudah itu. Sebab, ada sejumlah payung hukum dan politik yang bakal menyelamatkan mereka.
Berapa banyak sudah anggota DPR yang diusut, diselidiki dan disidik sebagai tersangka korupsi? Jawabnya: ironis mengingat banyaknya korupsi yang terjadi di sana tetapi hanya segelintir yang “diproses” secara hukum. Kalau ditanya, dari mana memulainya, hal tersebut bukanlah persoalan sulit. Ambil saja contoh yang sangat hangat, kasus Korupsi Dana BLBI yang melibatkan beberapa anggota DPR. Sejak pertama kali kasus BLBI ini terbongkar, nasibnya tak menentu dan menjadi timbul tenggelam. Pada satu masa, pejabat pemberantas korupsi (seperti KPK) mencetak prestasi dengan menahan oknum-oknum yang terlibat kasus ini, tetapi di suatu masa lain, kasus ini akan surut kembali karena keburu tertutup oleh kasus-kasus hangat lainnya. Sedangkan kasus ini sendiri pun belum sepenuhnya selesai diproses secara hukum.
Dengarlah (penggalan) lirik lagu yang dinyanyikan Slank berjudul “Gosip Jalanan”.
Siapa yang tau mafia selangkangan
Tempatnya lendir-lendir berceceran
Uang jutaan bisa dapat perawan
Kacau balau 2X negaraku ini
Tempatnya lendir-lendir berceceran
Uang jutaan bisa dapat perawan
Kacau balau 2X negaraku ini
Ada yang tau mafia peradilan
Tangan kanan hukum di kiri pidana
Dikasih uang habis perkara
Tangan kanan hukum di kiri pidana
Dikasih uang habis perkara
Mau tau gak mafia di senayan
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit
Bahkan dengan mudahnya kita dapat membayangkan seperti apa keadaan dalam gedung di “Senayan” tersebut. Mengada-ada? Tidak. Lirik tersebut dibuat dengan melihat fenomena yang terjadi di masyarakat. Di sinilah peran seniman dan KPK dengan cerdas memadukannya dalam upaya pemberantasan korupsi yang tengah digiatkannya.
Sabtu, 19 Mei 2012
Kisah mahasiswa dengan Pengamen Jalanan
Beberapa waktu yang lalu, saya dengan beberapa teman makan malam bersama. Bisa dibilang,makan kecil-kecilan. Setelah shalat Mahgrib, kami beriringan menuju salah satu tempat makan yang lumayan bagus lah untuk ukuran mahasiswa . Setelah menunggu beberapa saat, pesanan kami berupa telor mata sapi, oseng kangkung, sambal, dan segala telah terhidang menggiurkan di depan kami. Ketika saya mulai makan sesuapan, tiba-tiba ada pengamen yang datang di tempat makan tersebut. Ah! ini dia ! setelah sekian lama, akhirnya saya dapat berjumpa kembali dengan pengamen yang satu ini. Ada beberapa hal yang khas yang tidak saya temui pada pengamen lain selain pengamen yang satu ini.
Pertama, dari penampilan dan persiapan ngamennya saja sudah berbeda dengan pengamen kebanyakan. Dia, merupakan pengamen solo, menggunakan gitar modifikasi sendiri. Saya curiga, mungkin made in sendiri, hehehe. Memakai jaket belel khas, harmonika, dan topi bulukan. Menurut saya, ini merupakan suatu style yang pengamen yang unik.
Selanjutnya, adalah dia selalu mengamen di bagian luar warung, lebih tepatnya dekat pintu masuk atau pelataran warung. Seperti biasanya, dia berada pada posisi di pelataran warung saat malam itu. Kemudian, mulailah dia bernyanyi. Nah, ini salah satu bagian favorit saya, dia selalu menyanyikan lagu - lagu Bang Iwan Fals. Pengamen itu, dalam kesmepatan saya berjumpa denganya, selalu menyanyikan lagu - lagu Bang Iwan Fals. Tidak pernah mengikuti perkembangan trend, entah saat trend melayu ataupun sekarang adalah era Boyband dan Girlband. Malam itu, dia menyanyikan lagu “Tikus - Tikus Kantor”.
Keistimewaan selanjutnya adalah, dia menyanyi dengan nada yang bagus, tidak sumbang, dan ekspresif. Setiap nada yang dia keluarkan, setiap lirik yang dinyanyikan, pengamen tersebut menikmatinya. Saya, dengan kedua teman saya, menikmati pertunjukkan pengamen tersebut. Perlu diketahui, di warung juga diperdengarkan musik melalui pengeras suara dengan volume lumayan kencang. Tetapi kami tetap bisa menikmati pertunjukkan yang ditampilkan pengamen tersebut pada malam itu. Saya liat, beberapa orang di warung tersebut juga menikmati pertunjukkan yang ditampilkan olehnya.
Hal khas lainnya dari pengamen ini adalah, dia akan menyanyikan lagu utuh, sampai selesai. Tidak setengahnya ataupun hanya beberapa bait. Dia menyanyikan utuh sesuai dengan lagu aslinya. Setelah lagunya selesai, dia tidak berjalan ke para tamu atau “pendengar”, meminta upah mengamen, tetapi hanya diam di tempat dia menyanyi. ini ciri khas yang jarang saya temui juga pada pengamen kebanyakan yang biasanya suaranya sumbang, nyanyinya sedikit, baru 1 bait lirik saja sudah berkeliling memintas sekadar recehan dengan tampang sangar dan perilaku agak memaksa. Mungkin, Inilah yang menjadikan saya kagum pada pengamen yang satu ini.
Merasa terhibur, teman saya memberikan 10rb rupiah kepada pengamen ini. Saya pun dulu pernah memberi sekitar 5rb rupiah karena takjub dengan gaya pengamen yang satu ini. Dari pengamen tersebut, saya belajar beberpa hal. Kakukan pekerjaan kita sebaik mungkin, apapun pekerjaannya. Pengamen ini mungkin tidak pernah bercita-cita menjadi pengamen dulunya, atapun sekarang dia agak terpaksa dengan profesinya sekarang. Tetapi, dia menjalankannya dengan sebaik mungkin, sebisa dan semampu dirinya.Apapun profesi kita, tetap lakukan dengan hati yang lapang, dan kalau bahasa jawanya nrimo. Tidak dengan mentang - mentang dia pengamen, salah satu kaum papa di Indonesia Raya ini, dia menghalakan statusnya untuk bertingkah “memaksa” upah mengamennya, ataupun mungkin bertindak kriminal 363 dengan mengatakan kalimat klise “terpaksa pak, buat makan, hasil itu sebanding dengan usaha plus faktor x. Faktor x disini menurut saya adalah Softskill, doa, dan keunikan. Coba saja, dia sama dengan pengamen - pengamen blangsak lainnya, paling hanya dapat 500 perak, atau maksimal 1000rb lah. Tetapi dengan kenikannya, usaha untuk tampil sebaik mungkin, dan tetap menghormati orang lain, wajar saja dia mendapatkan lebih daripada pengamen-pengamen kebanyakan.
Setelah menyanyikan lagu yang ketika, pengamen tersebut pergi meninggalkan warung tersebut, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih dengan membungkukkan badan. Makanan yang terhidang juga sudah habis kami lahap. Saya bersama teman saya membayar dan meninggalkan tempat makan tersebut. Dalam perjalanan pulang, pikiran saya melayang, apakah para “yang terhormat”, para yang “ngakunya terpelajar”, dan para pemimpin di Negeri Indonesia Raya ini memiliki kualitas minimal seperti pengamen favorit saya tadi? Saya rasa, kawan-kawan bisa menebak apa yang ada di pikiran saya….
Pertama, dari penampilan dan persiapan ngamennya saja sudah berbeda dengan pengamen kebanyakan. Dia, merupakan pengamen solo, menggunakan gitar modifikasi sendiri. Saya curiga, mungkin made in sendiri, hehehe. Memakai jaket belel khas, harmonika, dan topi bulukan. Menurut saya, ini merupakan suatu style yang pengamen yang unik.
Selanjutnya, adalah dia selalu mengamen di bagian luar warung, lebih tepatnya dekat pintu masuk atau pelataran warung. Seperti biasanya, dia berada pada posisi di pelataran warung saat malam itu. Kemudian, mulailah dia bernyanyi. Nah, ini salah satu bagian favorit saya, dia selalu menyanyikan lagu - lagu Bang Iwan Fals. Pengamen itu, dalam kesmepatan saya berjumpa denganya, selalu menyanyikan lagu - lagu Bang Iwan Fals. Tidak pernah mengikuti perkembangan trend, entah saat trend melayu ataupun sekarang adalah era Boyband dan Girlband. Malam itu, dia menyanyikan lagu “Tikus - Tikus Kantor”.
Keistimewaan selanjutnya adalah, dia menyanyi dengan nada yang bagus, tidak sumbang, dan ekspresif. Setiap nada yang dia keluarkan, setiap lirik yang dinyanyikan, pengamen tersebut menikmatinya. Saya, dengan kedua teman saya, menikmati pertunjukkan pengamen tersebut. Perlu diketahui, di warung juga diperdengarkan musik melalui pengeras suara dengan volume lumayan kencang. Tetapi kami tetap bisa menikmati pertunjukkan yang ditampilkan pengamen tersebut pada malam itu. Saya liat, beberapa orang di warung tersebut juga menikmati pertunjukkan yang ditampilkan olehnya.
Hal khas lainnya dari pengamen ini adalah, dia akan menyanyikan lagu utuh, sampai selesai. Tidak setengahnya ataupun hanya beberapa bait. Dia menyanyikan utuh sesuai dengan lagu aslinya. Setelah lagunya selesai, dia tidak berjalan ke para tamu atau “pendengar”, meminta upah mengamen, tetapi hanya diam di tempat dia menyanyi. ini ciri khas yang jarang saya temui juga pada pengamen kebanyakan yang biasanya suaranya sumbang, nyanyinya sedikit, baru 1 bait lirik saja sudah berkeliling memintas sekadar recehan dengan tampang sangar dan perilaku agak memaksa. Mungkin, Inilah yang menjadikan saya kagum pada pengamen yang satu ini.
Merasa terhibur, teman saya memberikan 10rb rupiah kepada pengamen ini. Saya pun dulu pernah memberi sekitar 5rb rupiah karena takjub dengan gaya pengamen yang satu ini. Dari pengamen tersebut, saya belajar beberpa hal. Kakukan pekerjaan kita sebaik mungkin, apapun pekerjaannya. Pengamen ini mungkin tidak pernah bercita-cita menjadi pengamen dulunya, atapun sekarang dia agak terpaksa dengan profesinya sekarang. Tetapi, dia menjalankannya dengan sebaik mungkin, sebisa dan semampu dirinya.Apapun profesi kita, tetap lakukan dengan hati yang lapang, dan kalau bahasa jawanya nrimo. Tidak dengan mentang - mentang dia pengamen, salah satu kaum papa di Indonesia Raya ini, dia menghalakan statusnya untuk bertingkah “memaksa” upah mengamennya, ataupun mungkin bertindak kriminal 363 dengan mengatakan kalimat klise “terpaksa pak, buat makan, hasil itu sebanding dengan usaha plus faktor x. Faktor x disini menurut saya adalah Softskill, doa, dan keunikan. Coba saja, dia sama dengan pengamen - pengamen blangsak lainnya, paling hanya dapat 500 perak, atau maksimal 1000rb lah. Tetapi dengan kenikannya, usaha untuk tampil sebaik mungkin, dan tetap menghormati orang lain, wajar saja dia mendapatkan lebih daripada pengamen-pengamen kebanyakan.
Setelah menyanyikan lagu yang ketika, pengamen tersebut pergi meninggalkan warung tersebut, dan tidak lupa mengucapkan terima kasih dengan membungkukkan badan. Makanan yang terhidang juga sudah habis kami lahap. Saya bersama teman saya membayar dan meninggalkan tempat makan tersebut. Dalam perjalanan pulang, pikiran saya melayang, apakah para “yang terhormat”, para yang “ngakunya terpelajar”, dan para pemimpin di Negeri Indonesia Raya ini memiliki kualitas minimal seperti pengamen favorit saya tadi? Saya rasa, kawan-kawan bisa menebak apa yang ada di pikiran saya….
Kamis, 17 Mei 2012
Konser I SLANK U
Hampir 5 tahun terakhir ini Slank tak pernah menggelar konser besar. Namun semua itu mereka tebus dengan sebuah pagelaran konser eksklusif bertajuk ‘I Slank U’ yang digelar di Ballroom Hotel Ritz-Carlton Pasific Place, Jakarta Selatan, Jumat (11/5/2012) pukul 21.00 WIB.
Konser ini dimulai dengan diserahkannya sebagian dari hasil penjualan secara simbolis kepada yayasan yang menaungi para penderita HIV. Setelah itu konser pun dibuka oleh musisi-musisi papan atas seperti Naif, Dira Sugandi, Sashi, dan Alexa.
Slank sendiri banyak memberikan kejutan. Di awal mereka memberikan penampilan yang tak biasa. Para personel Slank yaitu Kaka, Bimbim, Ivan, Ridho dan Abdee muncul dengan kostum yang rapi dan menggunakan jas serta kemeja warna warni. Menurut mereka, ini adalah untuk pertama kalinya mereka berdandan sebelum tampil.
Bagi Slank sendiri, merupakan sebuah tantangan ketika mereka harus tampil dengan diiringi banyak orang. Dalam konser ini, Slank memang diiringi oleh para pemain orkestra dan juga paduan suara.
“Biasanya kita main berlima, tapi sekarang sama 80 orang. Untungnya konduktornya udah diajarin rock n roll, jadi kalau ada yang miss dari Kaka, puterannya harus ngikutin Kaka. Tadi sempat ada dua lagu yang miss, dan konduktornya berhasil ikut masuk nyesuaiin. Tantangan terberat itu ya, jadi konduktornya rock n roll abis,” kata Bimbim seperti dirilis vivanews.
Tak hanya para penonton yang terpuaskan, namun para personel Slank juga merasakan kepuasan atas terlaksananya konser ‘I Slank U‘ ini.
“Penonton seru banget, sama aja ternyata slankers wangi ini semangatnya dengan slankers bendera. serulah pokoknya. Banyak yang terbayarkan setelah sekian lama yang enggak nonton Slank di lapangan. Konsep mewah dengan 3 dimesi kita buat sekitar 5 tahun yang lalu, dan malam ini balik ke konser yang megah, di lokasi yang megah dan enjoy banget,” tutur Abdy
Rabu, 16 Mei 2012
Senin, 07 Mei 2012
KPJ Jakarta
Jakarta 1970-1982. Kala itu lokasi ngamen di Jakarta cuma ada dua,
yakni di Pasar Kaget (dulu terletak di sebelah Taman Martha Tiahahu)
dan di Pecenongan.
Tempat ngamen yang cuma dua lokasi itu pun, dikuasai oleh para preman yang memalak (memeras) tiap pengamen Rp4.000 per hari. Menurut Anto, angka Rp4.000 bukanlah bilangan kecil untuk kelas pengamen saat itu.
Oleh karena itu, didorong oleh keinginan terbebas dari pemerasan para preman, para pengamen bersatu membentuk organisasi bernama KPJ. Merasa sudah bersatu, akhirnya anggota KPJ pun melawan dan menolak untuk memberi upeti kepada para preman. Puncaknya, terjadilah perang masal antara anggota KPJ melawan preman yang dimenangi oleh anak-anak KPJ.
"Peperangan" itu sendiri, masih menurut Anto, bukanlah tujuan utama pembentukan KPJ. "Perang", bagi anak-anak KPJ hanyalah sebuah bentuk perlawanan terhadap penindasan.
Tujuan pokoknya adalah, menyatukan visi dan mengadakan pembinaan kreativitas para anggotanya. Atau dalam bahasa Yoyik Lembayung, penyair dan pemusik yang pernah menjadi Ketua KPJ periode 1982-1983, spirit dibentuknya KPJ adalah agar para penyanyi jalanan itu tak hanyut dalam rutinitas. Malam ngamen, siang tidur. "Kita ingin teman-teman punya waktu untuk kumpul, berdiskusi, membuat lagu bersama. Kira-kira, kita ingin punya iklim workshop. Dari sana kemudian muncul berbagai gagasan. Bikin Pentas Musik Kaki Lima, Aksi Ngamen, dan seterusnya," ujar Yoyik.
Munculnya KPJ Jakarta, imbuh Yoyik, akhirnya menjadi inspirasi terbentuknya KPJ di daerah. Satu demi satu KPJ di daerah muncul. Mulai dari Bogor, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan meluas ke luar Jawa. Kini, jumlah anggota KPJ mulai dari Aceh hingga Palu mendekati angka 100.000 orang. Jumlah massa yang besar inilah yang suka bikin ngiler para politikus, terutama saat musim kampanye seperti Pemilu Wakil Rakyat maupun Pemilu presiden tahun lalu. Untungnya, kata Anto, anak-anak KPJ sudah memiliki kesadaran bahwa mereka tak mau dijadikan alat. Jadi, jika pemilu kemarin ada politikus yang memberikan bantuan alat sound-system, tak berarti anak-anak KPJ akan memilihnya.
***
Ngamen, mbarang, adalah sebuah terminologi yang menunjuk pada sebuah profesi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan imbalan dengan menyanyi, baca puisi, main musik, menari, dan seterusnya. Mereka bergerak bisa dari rumah ke rumah, warung ke warung, di dalam bus, dan sebagainya.
Ada empat motivasi mengapa seseorang ngamen, ucap Anto Baret. Yang pertama adalah untuk karier, kemudian untuk batu loncatan, iseng, dan profesi.
Mereka yang ngamen untuk karier, lanjut Anto, adalah pengamen yang datang dari daerah dengan membawa serta karya-karya sendiri. Malam ngamen, siangnya menawarkan karya-karyanya ke produser. Untuk jenis yang ini, beberapa nama telah muncul. Sebutlah, Kuntet Mangkulangit, Younky RM, John Dayat, dan lain-lain.
Adapun ngamen sebagai batu loncatan menurut Anto, adalah mereka yang datang dari daerah ke Jakarta untuk mencari kerja. Sebelum mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan, untuk mengisi perut mereka mengamen. Malam ngamen, siangnya memasukkan lamaran ke perusahaan.
Sedangkan mereka yang ngamen karena iseng biasanya anak-anak sekolah atau mahasiswa untuk mengisi waktu luang atau sekedar mencari "uang rokok".
Jenis keempat, adalah mereka yang menggantungkan hidup sepenuhnya dari ngamen. Misalnya, bapak-bapak yang ngamen dengan sitar, dan seterusnya.
empat jenis pengamen itulah yang dari dulu hingga kini berkumpul di KPJ yang bermarkas di Bulungan, tepatnya di area Gelanggang Remaja Jakarta Selatan.
Pembinaan, itulah substansi didirikannya KPJ. Maklumlah, di dalamnya berkumpul orang-orang yang biasa bergerak di jalanan yang identik dengan hidup bebas dan keras.
Itulah soal, Anto Baret tak setuju kalau yang dibina cuma yang identitasnya jelas saja (anak-anak sekolah, mahasiswa, misalnya). "Justru yang gak jelas itulah yang sangat perlu dibina. Logikanya, anak yang hidup bersama orang tuanya saja bisa nakal, apalagi mereka yang jauh dari pengawasan orang tua. Kalau gak dibina bisa liar," papar Anto.
Maka, KPJ pun kemudian membuat tatanan pembinaan budi pekerti dan sopan santun. Hasilnya, jika Anda datang ke Bulungan, maka tradisi bersalaman jika berjumpa dan berpisah dengan seorang kawan adalah hal yang lumrah terjadi.
Kata Anto, hidup di jalanan yang keras itu harus rukun, karena mereka adalah senasib. Adapun bersalaman, adalah upaya untuk selalu menyambung tali silaturahmi dan perwujudan rasa syukur. "Syukur kita diberi kesehatan, syukur masih bisa bertemu," terang Anto.
Di samping itu, bersalaman juga dipercaya oleh orang-orang KPJ bisa menimbulkan kedekatan psikologis antar anggota KPJ. Tentu, di luar bersalaman, ada juga etik lain yang dibangun. Misalnya, mereka yang lebih tua harus siap menjadi kakak bagi yang lebih muda. Mereka yang skill musiknya bagus, mesti mau mengajari kepada mereka yang masih belajar. Kemudian, untuk menambah wawasan, KPJ juga mewajibkan anggota-anggotanya untuk membaca koran. "Kalau ada yang nggak ngerti dengan isi berita, kita bicarakan.
***
Tahun 1987, terbetiklah ide untuk menjadikan jalanan bukan hanya sebagai media ekspresi, tetapi juga media bisnis. Mulailah mereka mendirikan agen minuman ringan, agen es balok, buka warung ayam bakar Gantari. "Yang penting tidak merugikan orang lain," tegas Anto tentang media bisnis yang dikelola KPJ.
Sedangkan untuk media ekspresi, KPJ membuat agenda acara berupa pertemuan seminggu sekali untuk berdiskusi, menggelar panggung terbuka tiap ultah KPJ dan peringatan 17 Agustus. Media ekspresi yang paling belakangan, adalah pendirian warung apresiasi atau biasa disebut Wapress sekitar tiga tahun lalu. Di Wapress inilah, tiap malam warga KPJ maupun seniman dari luar komunitas KPJ berekspresi dalam bidang kesenian. Mulai seni musik, tari, teater, sastra, wayang, gambus.
Hari berganti bulan dan tahun, dua media itu ternyata berkembang pesat. Agar roda organisasi dapat berjalan lancar dan seminimal mungkin menghadapi persoalan, maka dibuatlah beberapa peraturan yang oleh Anto Baret disebut sebagai Tiga Larangan.
Larangan pertama, tidak boleh melakukan tindak kriminal. Kedua, tidak boleh ribut sesama teman. Ketiga, tidak boleh nyuntik (narkoba).
KPJ, memang cuma organisasi "anak-anak jalanan" yang rancangan program kerjanya secara administratif amat jauh dari organisasi-organisasi dengan nama-nama mentereng. Tapi siapa sangka, dengan kepolosan dan ketulusan para anggotanya, organisasi dengan anggota puluhan ribu orang itu bisa berjalan hingga 23 tahun.
Barangkali, lantaran mereka tak disibukkan oleh cita-cita yang muluk-muluk. Cukup dengan empat motto, "Pikirkan, rasakan, ucapkan, kerjakan", roda organisasi mereka menggelinding. .
Tempat ngamen yang cuma dua lokasi itu pun, dikuasai oleh para preman yang memalak (memeras) tiap pengamen Rp4.000 per hari. Menurut Anto, angka Rp4.000 bukanlah bilangan kecil untuk kelas pengamen saat itu.
Oleh karena itu, didorong oleh keinginan terbebas dari pemerasan para preman, para pengamen bersatu membentuk organisasi bernama KPJ. Merasa sudah bersatu, akhirnya anggota KPJ pun melawan dan menolak untuk memberi upeti kepada para preman. Puncaknya, terjadilah perang masal antara anggota KPJ melawan preman yang dimenangi oleh anak-anak KPJ.
"Peperangan" itu sendiri, masih menurut Anto, bukanlah tujuan utama pembentukan KPJ. "Perang", bagi anak-anak KPJ hanyalah sebuah bentuk perlawanan terhadap penindasan.
Tujuan pokoknya adalah, menyatukan visi dan mengadakan pembinaan kreativitas para anggotanya. Atau dalam bahasa Yoyik Lembayung, penyair dan pemusik yang pernah menjadi Ketua KPJ periode 1982-1983, spirit dibentuknya KPJ adalah agar para penyanyi jalanan itu tak hanyut dalam rutinitas. Malam ngamen, siang tidur. "Kita ingin teman-teman punya waktu untuk kumpul, berdiskusi, membuat lagu bersama. Kira-kira, kita ingin punya iklim workshop. Dari sana kemudian muncul berbagai gagasan. Bikin Pentas Musik Kaki Lima, Aksi Ngamen, dan seterusnya," ujar Yoyik.
Munculnya KPJ Jakarta, imbuh Yoyik, akhirnya menjadi inspirasi terbentuknya KPJ di daerah. Satu demi satu KPJ di daerah muncul. Mulai dari Bogor, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan meluas ke luar Jawa. Kini, jumlah anggota KPJ mulai dari Aceh hingga Palu mendekati angka 100.000 orang. Jumlah massa yang besar inilah yang suka bikin ngiler para politikus, terutama saat musim kampanye seperti Pemilu Wakil Rakyat maupun Pemilu presiden tahun lalu. Untungnya, kata Anto, anak-anak KPJ sudah memiliki kesadaran bahwa mereka tak mau dijadikan alat. Jadi, jika pemilu kemarin ada politikus yang memberikan bantuan alat sound-system, tak berarti anak-anak KPJ akan memilihnya.
***
Ngamen, mbarang, adalah sebuah terminologi yang menunjuk pada sebuah profesi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan imbalan dengan menyanyi, baca puisi, main musik, menari, dan seterusnya. Mereka bergerak bisa dari rumah ke rumah, warung ke warung, di dalam bus, dan sebagainya.
Ada empat motivasi mengapa seseorang ngamen, ucap Anto Baret. Yang pertama adalah untuk karier, kemudian untuk batu loncatan, iseng, dan profesi.
Mereka yang ngamen untuk karier, lanjut Anto, adalah pengamen yang datang dari daerah dengan membawa serta karya-karya sendiri. Malam ngamen, siangnya menawarkan karya-karyanya ke produser. Untuk jenis yang ini, beberapa nama telah muncul. Sebutlah, Kuntet Mangkulangit, Younky RM, John Dayat, dan lain-lain.
Adapun ngamen sebagai batu loncatan menurut Anto, adalah mereka yang datang dari daerah ke Jakarta untuk mencari kerja. Sebelum mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan, untuk mengisi perut mereka mengamen. Malam ngamen, siangnya memasukkan lamaran ke perusahaan.
Sedangkan mereka yang ngamen karena iseng biasanya anak-anak sekolah atau mahasiswa untuk mengisi waktu luang atau sekedar mencari "uang rokok".
Jenis keempat, adalah mereka yang menggantungkan hidup sepenuhnya dari ngamen. Misalnya, bapak-bapak yang ngamen dengan sitar, dan seterusnya.
empat jenis pengamen itulah yang dari dulu hingga kini berkumpul di KPJ yang bermarkas di Bulungan, tepatnya di area Gelanggang Remaja Jakarta Selatan.
Pembinaan, itulah substansi didirikannya KPJ. Maklumlah, di dalamnya berkumpul orang-orang yang biasa bergerak di jalanan yang identik dengan hidup bebas dan keras.
Itulah soal, Anto Baret tak setuju kalau yang dibina cuma yang identitasnya jelas saja (anak-anak sekolah, mahasiswa, misalnya). "Justru yang gak jelas itulah yang sangat perlu dibina. Logikanya, anak yang hidup bersama orang tuanya saja bisa nakal, apalagi mereka yang jauh dari pengawasan orang tua. Kalau gak dibina bisa liar," papar Anto.
Maka, KPJ pun kemudian membuat tatanan pembinaan budi pekerti dan sopan santun. Hasilnya, jika Anda datang ke Bulungan, maka tradisi bersalaman jika berjumpa dan berpisah dengan seorang kawan adalah hal yang lumrah terjadi.
Kata Anto, hidup di jalanan yang keras itu harus rukun, karena mereka adalah senasib. Adapun bersalaman, adalah upaya untuk selalu menyambung tali silaturahmi dan perwujudan rasa syukur. "Syukur kita diberi kesehatan, syukur masih bisa bertemu," terang Anto.
Di samping itu, bersalaman juga dipercaya oleh orang-orang KPJ bisa menimbulkan kedekatan psikologis antar anggota KPJ. Tentu, di luar bersalaman, ada juga etik lain yang dibangun. Misalnya, mereka yang lebih tua harus siap menjadi kakak bagi yang lebih muda. Mereka yang skill musiknya bagus, mesti mau mengajari kepada mereka yang masih belajar. Kemudian, untuk menambah wawasan, KPJ juga mewajibkan anggota-anggotanya untuk membaca koran. "Kalau ada yang nggak ngerti dengan isi berita, kita bicarakan.
***
Tahun 1987, terbetiklah ide untuk menjadikan jalanan bukan hanya sebagai media ekspresi, tetapi juga media bisnis. Mulailah mereka mendirikan agen minuman ringan, agen es balok, buka warung ayam bakar Gantari. "Yang penting tidak merugikan orang lain," tegas Anto tentang media bisnis yang dikelola KPJ.
Sedangkan untuk media ekspresi, KPJ membuat agenda acara berupa pertemuan seminggu sekali untuk berdiskusi, menggelar panggung terbuka tiap ultah KPJ dan peringatan 17 Agustus. Media ekspresi yang paling belakangan, adalah pendirian warung apresiasi atau biasa disebut Wapress sekitar tiga tahun lalu. Di Wapress inilah, tiap malam warga KPJ maupun seniman dari luar komunitas KPJ berekspresi dalam bidang kesenian. Mulai seni musik, tari, teater, sastra, wayang, gambus.
Hari berganti bulan dan tahun, dua media itu ternyata berkembang pesat. Agar roda organisasi dapat berjalan lancar dan seminimal mungkin menghadapi persoalan, maka dibuatlah beberapa peraturan yang oleh Anto Baret disebut sebagai Tiga Larangan.
Larangan pertama, tidak boleh melakukan tindak kriminal. Kedua, tidak boleh ribut sesama teman. Ketiga, tidak boleh nyuntik (narkoba).
KPJ, memang cuma organisasi "anak-anak jalanan" yang rancangan program kerjanya secara administratif amat jauh dari organisasi-organisasi dengan nama-nama mentereng. Tapi siapa sangka, dengan kepolosan dan ketulusan para anggotanya, organisasi dengan anggota puluhan ribu orang itu bisa berjalan hingga 23 tahun.
Barangkali, lantaran mereka tak disibukkan oleh cita-cita yang muluk-muluk. Cukup dengan empat motto, "Pikirkan, rasakan, ucapkan, kerjakan", roda organisasi mereka menggelinding. .
Langganan:
Komentar (Atom)



